Sabtu, 22 Maret 2014

Gandum

II.       TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Sejarah Perkembangan Gandum di Indonesia
Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis, akan tetapi melalui usaha–usaha manusia dibidang pemuliaan dan budidaya tanaman, penyebaran tanaman gandum mulai meluas ke daerah iklim sedang dan tropis. Pengembangan gandum di Indonesia dimulai sejak Menteri Pertanian dipegang oleh Prof.Dr.Ir.H. Thoyib Hadiwijaya dengan membentuk Tim Inti Uji Adaptasi Gandum pada tahun 1978, lokasi uji coba terletak di Kabanjahe (Sumatera Utara). Benih asal yang digunakan adalah Cimmyt Meksiko dengan produktivitas empat ton/ha dalam bentuk pecah kulit (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001 cit., Puspita, 2009).  
Pengembangan uji adaptasi tersebut tidak berlanjut, Kemudian pada tahun 2000 PTISM Bogasari Flour Mills mensponsori kegiatan penelitian gandum di Indonesia melalui Proyek Gandum 2000. Penelitian tersebut dilakukan untuk mempelajari kemungkinan pengembangan gandum di Indonesia sebagai bagian dari strategi pengembangan gandum (pewilayahan gandum). Adapun proyek tersebut dilakukan melalui kerjasama antara Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Universitas Brawijaya, SEAMEO Biotrop, Universitas Kristen Satia Wacana (UKSW) Salatiga dan Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo. Penelitian tersebut menghasilkan pemetaan wilayah yang sesuai untuk pembudidayaan tanaman gandum (Bogasari, 2004).
Pada tahun 2001 pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian merintis pengembangan gandum dalam bentuk demonstrasi area di enam provinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan, dengan menggunakan benih galur asal India dan Cimmyt. Sampai tahun 2003 Ditjen Tanaman Pangan Departemen Pertanian terus melakukan pengembangan gandum berupa penelitian dan percobaan dalam rangka penyiapan dan perbanyakan sekaligus uji multi lokasi. Hasil yang diperoleh dari usaha pengembangan tersebut cukup menggembirakan dan memperoleh respon yang cukup baik dari petani dan pemerintah daerah. Panen perdana gandum dilakukan pada tahun 2002 di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
 Selanjutnya pada tahun 2004, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan Departemen Pertanian mencanangkan dan meluncurkan program pengembangan gandum secara massal melalui Program Pengembangan Gandum Berkibar (Berkembang, Kurangi Impor dan Bantu Rakyat) seluas satu juta hektar yang diharapkan dapat terwujud di Indonesia. Hingga saat ini Indonesia telah melepas empat varietas gandum yaitu : 1) Dewata berasal dari DWR 162 (India), 2) Selayar berasal dari Cimmyt Meksiko, 3) Nias berasal dari Thailand, dan 4) Timor berasal dari India. Keempat varietas tersebut hanya untuk dataran tinggi (>800 m dpl) dan banyak ditanam saat ini hanya varietas Dewata dan Nias. Dilepaskannya empat varietas gandum oleh pemerintah menunjukkan bahwa gandum dapat dikembangkan di Indonesia.  
Di Indonesia lokasi yang memiliki kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan gandum dan telah digunakan sebagai lokasi pengembangan hingga tahun 2008 yaitu Nangro Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan timur, dan  Sulawesi Selatan (Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
2.2    Tanaman Gandum
Berdasarkan kegunaannya gandum dapat dibedakan menjadi gandum lunak (soft wheat) dan gandum keras (hard wheat), gandum lunak memiliki kadar protein 6–11 persen.  Karena kandungan gluten yang dimiliki rendah maka gandum lunak cocok untuk pembuatan kue–kue kering, biskuit,  crackers, dan sebagainya yang tidak memerlukan daya kembang yang tinggi sehingga dapat memberikan bentuk pada hasil cetakan kue. Gandum keras memiliki kadar protein 11–17 persen dan gluten yang lebih tinggi daripada gandum lunak sehingga dapat menghasilkan tepung gandum yang kuat daya kembangnya dan sangat cocok untuk pembuatan roti.  Selain itu gandum keras warnanya lebih gelap dan tidak memperlihatkan zat pati yang putih seperti gandum lunak (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001 cit., Puspita, 2009).
Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2001), menyatakan akar tanaman gandum memiliki dua macam akar yaitu akar kecambah, merupakan akar pertama yang tumbuh dari embrio dan akar adventif yang kemudian tumbuh dari buku dasar. Berbeda dengan akar kecambah yang kemudian mati, akar adventif membentuk sistem perakaran yang perakarannya berada sedalam 10-30 cm di bawah permukaan tanah. 
Batang tanaman gandum tegak, berbentuk silinder dan membentuk tunas.  Ruas-ruasnya pendek dan buku-bukunya berongga. Pada tanaman dewasa terdiri dari rata-rata enam ruas. Tinggi tanaman gandum atau panjang batang dipengaruhi oleh sifat genetik dan lingkungan tumbuh (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001 cit., Puspita 2009).
Daun pertama gandum, berongga dan berbentuk silinder, diselaputi plumula yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun. Helaian daun gandum tersusun dalam setiap batang, setiap daun membentuk sudut 1800 dari daun yang satu dengan daun yang lainnya. Daun telinga (auricle) barwarna pucat atau kemerah-merahan. Sedangkan lidah daun tidak berwarna, tipis dan berujung bulu-bulu dan halus (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001).
Bunga tanaman gandum berbentuk malai terdiri dari bulir-bulir. Tiap bulir terdiri dari lima buah bunga. Malai tersusun buku dan ruas yang pendek dan menyempit pada pangkal dan ujungnya melebar. Ujung bulir membentuk rambut yang panjang bervariasi (Nasir, 1987 cit., Sudarmini, 2001). Gandum termasuk tanaman yang mengadakan penyerbukan sendiri, kemungkinan penyerbukan silang 1-4 persen (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001).
Butir gandum (kernel, grain) secara botani adalah buah (caryopsis). Kulit biji berimpit dengan kulit buah. Biji terdiri dari nutfah (germ atau embrio), endosperm, scutellum. dan lapisan aleuron.  Bentuk butir bervariasi dari lonjong bundar sampai lonjong lancip. Biji gandum berwarna merah kecoklat-coklatan, putih dan warna diantara keduanya (Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2001 cit, Puspita, 2009).
Manfaat gandum sebagai bahan pangan sangat beragam terutama dalam diversifikasi pangan seperti makanan ringan roti, mie, biskuit, pudding, es krim, macaroni, kue, bahan pakan ternak seperti gabah, dedak, bungkil, dan untuk industri dalam pembuatan kerajinan, hiasan dan pembuatan kertas (Direktorat Budidaya Serealia, 2008). Sebagai bahan pangan gandum, gandum telah cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia. Manfaat gandum yang beragam merupakan keunggulan yang dimiliki oleh gandum.
2.3 Budidaya Gandum
Pada dasarnya tanaman gandum dapat beradaptasi secara luas dipermukaan bumi, mulai dari dekat khatulistiwa sampai 60°LU dan 40°LS. Daerah-daerah penyebarannya adalah 30-60°LU dan 25-40°LS.  Di Indonesia gandum ditanam di daerah pegunungan diatas 800 meter diatas permukaan laut (dpl). Suhu minimum untuk pertumbuhan adalah 2-4°C, suhu optimum sekitar 20-25°C sedangkan suhu maksimum 37°C. Umumnya tanaman gandum membutuhkan curah hujan minimum 250 mm, curah hujan selama periode hidupnya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan. Kebutuhan air bervariasi setiap fase perkembangan tergantung kondisi iklim dan tanah ( Chang, 1968, cit., Sudarmini, 2001). Penggunaan air tanaman ini ditentukan oleh waktu tanam, jumlah benih yang disemai, varietas dan kombinasi diantara faktor-faktor tersebut. Tanaman gandum banyak ditanam pada daerah-daerah dengan kisaran curah hujan 350–1.250 mm.  Curah hujan efektif untuk pertanaman gandum adalah 825 milimeter per tahun akan memberikan produksi yang tinggi, dengan pelaksanaan pergiliran tanaman dan pembuatan saluran irigasi (Direktorat Budidaya Serealia, 2008).
Kekurangan air pada fase  pertumbuhan gandum dapat mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh. Periode pertumbuhan yang sangat sensitif terhadap kekurangan air terjadi selama fase pembungaan organ reproduksi dan pembungaan (Jakson, 1977 cit., Sudarmini, 2001)
Menurut Kaufman (1972) dalam Tobing (1987) dalam Sudarmini (2001) pengaruh kekurangan air pada masa reproduktif tanaman dalam tiga tahap yaitu : tahap pembungaan, tahap perkembangan buah dan tahap pematangan buah. Pada tahap pembungaan tidak terdapat pengaruh khusus, tetapi dengan berkurangnya air dapat mengurangi produksi bunga. Pada tahap perkembangan buah, kekurangan air dapat dilihat pada ukuran buah yang mengecil. Sedangklan kekurangan air pada tahap pematangan buah akan mempengaruhi kemasakan dan kualitas buah yang dihasilkan.
Tanaman gandum dapat beradaptasi dengan baik pada kelembaban udara yang relatif  rendah.  Di daerah-daerah pegunungan yang ada di Indonesia kelembaban udara rata-rata adalah 90 persen dalam musim hujan dan 80 persen dalam musim kemarau.  Waktu yang paling baik dalam menanam gandum di Indonesia adalah menjelang musim kemarau sehingga fase pematangan jatuh pada musim kemarau, karena pada bulan pertama dan kedua diperlukan air yang merata dan cukup jumlahnya dalam pembentukan tunas dan primordial.  Sedangkan pada bulan ketiga mulai fase pematangan tidak memerlukan banyak air.  Untuk daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur penanaman gandum dimulai bulan Maret sampai dengan bulan Juni dengan curah hujan 643-841 milimeter dan hari hujan 2,8-3,6 hari per bulan, sedang suhu berkisar antara 15,1-20,6°C (Direktorat Budidaya Serealia, 2008). 
Intensitas radiasi surya mempengaruhi semua komponen hasil yaitu : pertumbuhan, jumlah malai persatuan luas, jumlah bulir isi per malai dan rata-rata bobot bulir. Pembentukan malai yang maksimum selain tergantung pada varietasnya juga akan sangat tergantung pada tingkat intenstas radiasi surya pada masa pertumbuhan. Makin tinggi intensitas radiasi surya maka akan mempertinggi pembentukan malai dan sama pula terjadi pada laju fotosintesis (Tobing, 1987 cit.,   Sudarmini, 2001).
Adaptasi tanaman gandum terhadap jenis-jenis tanah juga sangat luas, akan tetapi jenis tanah yang baik adalah tanah yang dapat menahan air dalam jumlah yang cukup selama pertumbuhan tanaman. Umumnya jenis tanah untuk pertanaman gandum di Indonesia adalah andosol, regosol kelabu, latosol dan aluvial, pH tanah yang baik untuk pertumbuhan gandum adalah berkisar 6,8-7,5.  Syarat tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman gandum adalah : 1) hara yang diperlukan cukup tersedia 2) tidak ada zat toksik 3) kelembapan mendekati kapasitas lapang 4) suhu tanah rata-rata berkisar 12-28°C 5) aerasi tanah baik dan 6) tidak ada lapisan padat yang menghambat penetrasi akar gandum untuk menyusuri tanah.
Benih yang digunakan benih bermutu, hal ini sangat penting disamping untuk menghasilkan produksi tinggi juga untuk ketahanan terhadap hama dan penyakit menyerang. Dalam memilih benih sebaiknya benih yang digunakan berasal dari malai yang matang pada batang utama, mempunyai bentuk dan warna yang seragam dan mempunyai bobot yang tinggi dan seragam serta bebas dari hama dan penyakit.  Varietas yang ada dan pernah dikembangkan di Indonesia baru beberapa varietas saja diantaranya Nias, Timor, Selayar dan Dewata namun dari ke empat tersebut yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas Selayar, Dewata dan Nias. Kebutuhan benih untuk setiap hektarnya tergantung dari daya tumbuh benih.  Bila benih dengan daya tumbuh 95 persen cukup dua butir/lubang dengan jarak tanam 20 x 10 cm diperlukan 30 kg benih/ha.  Sedangkan benih berdaya tumbuh kurang dari 95 persen, jumlah benih/lubang leniih dari dua butir sehingga jumlah benih yang dibutuhkan 35 kg benih/ha (Direktorat Budidaya Serealia, 2008).
Karena penanaman gandum dilakukan pada musim kemarau setelah musim hujan maka tanah diberakan untuk menjaga aerasi tanah.  Pengolahan  dilakukan dua kali yaitu: 1) Pengolahan pertama pencangkulan/pembajakan dengan tujuan menggemburkan tanah dan membasmi gulma;  2) Pengolahan tanah kedua yaitu satu minggu setelah pengolahan pertama, sekaligus pemberian pupuk organik bila diperlukan kemudian tanah dibiarkan selama 7-10 hari. Sebelum penanaman terlebih dahulu dibuat lubang pertanaman dengan cara ditugal, kemudian benih dimasukan 2-3 butir/lubang dan ditutup dengan tanah halus. Jarak tanam tergantung dari tingkat kesuburan tanah. Jarak tanam yang sering digunakan adalah 20 x 10 cm, 25 x 10 cm, dan 30 x 10 cm (Direktorat Budidaya Serealia, 2008 cit., Puspita, 2009).
Waktu pemupukan dapat dilakukan sebelum tanam atau pada saat tanam sebagai pupuk dasar.  Pupuk pertama yang harus diberikan adalah TSP dan KCl serta sebagian pupuk N.  Dosis pemupukan dapat ditentukan oleh jumlah hara yang tersedia di dalam tanah.  Jumlah pupuk organik yang biasa digunakan sebanyak 20 ton/ha. Sedangkan pupuk anorganik sebanyak 120 kg N/ha, 45-90 kg P/ha dan 30-60 kg K/ha. Pemberian pupuk urea dapat diberikan 2-3 kali (Direktorat Budidaya Serealia, 2008).
Penyiangan dilakukan 2-3 kali tergantung banyaknya populasi gulma. Penyiangan pertama, kedua dan ketiga dilakukan pada saat tanaman berumur satu bulan, tiga minggu setelah penyiangan pertama dan selanjutnya tergantung pada jumlah populasi gulma. Di Indonesia hama yang menyerang tanaman gandum dan cukup berbahaya adalah Aphhids, Walang sangit, Ulat grayak, Penggerek batang, Sundep dan Nematoda (Direktorat Budidaya Serealia, 2008 cit., Puspita, 2009).
Gandum siap dipanen setelah 80 persen dari rumpun telah bermalai, jerami batang dan daun mengering dan menguning. Jika 20 persen dari bagian malai telah matang penuh, butir gandum cukup keras bila dipijit ditangan.  Jika gandum yang terlalu matang cenderung rebah dan rontok disamping itu akan menurunkan bobot butir gandum. Untuk menentukan gandum cukup untuk dipanen yaitu dengan cara menggosok butir–butir gandum dengan tangan dan terlepas dari malainya. Batang gandum dipotong 30 cm dari ujung malai kemudian diikat.  Malai yang baru dipanen dikeringkan, dijemur pada panas matahari selama 1-2 hari agar malai mudah dirontokan.  Gandum dirontokan dengan irik, diinjak-injak atau dipukul pada kisi-kisi kawat. Setelah perontokan biji gandum dikeringkan sampai kadar air 14 persen (Direktorat Budidaya Serealia, 2008).
2.4 Identifikasi Plasma Nutfah
Plasma nutfah adalah potensi genetik dari makhluk hidup. Keanekaragaman plasma nutfah memungkinkan organisme untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan. Tidak ada satu individu pun dari spesies manapun yang mendukung semua keragaman genetik dari spesies itu. Ini berarti bahwa total potensi genetik hanya terwakili di dalam populasi yang terdiri banyak individu. Potensi genetik seperti ini disebut genepool. Potensi yang terdapat dalam genepool merupakan dasar atau fondasi bagi tanaman pertanian, kehutanan, ternak dan sebagainya. Plasm nutfah hanya dapat dipelihara dalam jaringan yang hidup (living tissue) seperti pada embrio dari biji mati maka hilanglah plasma nutfah (Ardi, 2006).
Keanekaragaman hayati satu spesies dapat dilihat dari hubungan kekerabatan antar genotipe dalam spesies tersebut. Hubungan kekerabatan yang jauh mengindikasikan bahwa keanekaragaman hayati dalam spesies tersebut masih tinggi. Untuk mendapatkan informasi diperlukan adanya suatu program karakterisasi dari plasma nutfah.
Erosi genetik pada jenis-jenis yang dieksploitasi tanpa dasar ilmiah memberikan dampak yang memprihatinkan. Fragmentasi dan kerusakan habitat, pengurasan alami dan penanaman kultivar lokal akan menyebabkan keanekaragaman genetika makin lama makin menipis dan akan berakhir dengan kepunahan gen-gen yang berpotensi (Sastrapradja, et al., 1989). Solusi yang paling realistis untuk menanggulangi erosi sumberdaya genetik yang terus terjadi adalah dengan melakukan konservasi genetika. Kegiatan ini berupa pengelolaan koleksi dan pemeliharaan pusat-pusat sumber daya genetik yang mewakili spektrum keanekaragaman genetik.
Pengolahan sumber daya genetik tumbuhan meliputi upaya untuk melestarikan, mengamankan sekaligus memanfaatkan keanekaragaman genetik seoptimal mungkin sehingga berguna, baik bagi generasi sekarang, maupun yang akan datang. Pada spesies tanaman budidaya, sumber genetik telah lama diketahui sebagai aset yang sangat berharga bagi program perbaikan sifat tanaman (Oldfield, 1989). Langkah-langkah operasional dalam pengelolaan sumber daya genetika yang lengkap meliputi : 1) kegiatan eksplorasi, inventarisasi, dan identifikasi sumberdaya genetik, 2) melakukan koleksi secara eksitu dan insitu, 3) dokumentasi, 4) evaluasi, karakterisasi, dan katalogisasi, 5) pemanfaatan, seleksi, hibridisasi, dan perakitan varietas, 6) konservasi dan rejuvinasi, serta 7) pertukaran materi, perlindungan, dan komersialisasi.
Poespodarsono (1998) menyebutkan, proses atau langkah kedua dari tujuh langkah yang harus dilakukan seorang pemulia untuk memuliakan suatu tanaman adalah dengan menyediakan materi pemuliaan. Suatu tanaman dapat dimuliakan salah satunya bila ada perbedaan genetik pada materi pemuliaan yang dimilki oleh pemulia. Jadi untuk melakukan pemuliaan pada tanaman, perlu keragamaan dari tanaman tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi karakteristik morfologi dari tanaman tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
[APTINDO] Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2007. Laporan APTINDO Tahun 2007. Jakarta: APTINDO.
[APTINDO] Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2009. Peran Aptindo dalam Mendukung Pengembangan Gandum di Indonesia. Jakarta: APTINDO.
                                                                                                           .2010. Laporan APTINDO Tahun 2010. Jakarta: APTINDO.                                                                                
Ardi. 2006. Pelestaran Plasma nutfah. Bahan Kuliah. Fakultas Pertanian Unversitas Andalas. Padang.
Bari. A, musa. S, Sjamsudin. 1974. Pengantar pemuliaan Tanaman. Institut Pertanian Bogor.
Bogasari. 2004. Referensi Industri. http://www.bogasariflaour.com/ref_ind.htm.[7 mai 2009].
Direktorat Budidaya Serealia. 2008. Inventarisasi Pengembangan Gandum. Jakarta : Departemen Pertanian.
Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2001. Teknologi Produksi Gandum. Jakarta : Departemen Pertanian.
Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan. 2003. Pedoman Teknis Peningkatan Produktivitas Gandum. Jakarta: Departemen Pertanian.
Ditjen Tanaman Pangan. 2008. Bahan Publikasi : Pengembangan Gandum. Jakarta : Departemen Pertanian.
http://www.deptan.go.id/20011. Gandum. Diakses pada tanggal 23 April 2011.
Nurmala, T. 1980. Budidaya TanamanGandum. Bandung : PT. Karya Nusantara Jakarta.
Oldfield, M.L. 1989. The Value Of Conserving Recources. Sinauer : Sunderland.
Oldfield, M.L. 1998. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Puspita, A.A.D. 2009. Analsis Dayasaing dan  Strategi Pengembangan Agribisnis Gandum Lokal di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Simanjuntak, Riduan. Budidaya Gandum di Indonesia Sebagai Alternatif Dalam Upaya Mengurangi Ketergantungan Terhadap Impor Gandum dan Impor Terigu. http://riduansimanjuntak.multiply.com/journal/item/7/Budidaya_Gandum_di_Indonesia_Sebagai_Alternatif_Dalam_Upaya_Mengurangi_Ketergantungan_Terhadap_Impor_Gandum_dan_Impor_Terigu. Diakses pada tanggal 12 April 2011.
Sovan, M. 2002. Penangan pascapanen gandum. Disampaikan pada acara rapat koordinasi pengembangan gandum di Pasuruan, Jawa Timur, 3-5 September 2002.  Direktorat Serealia Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan.
Sudarmini. 2001. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Gandum (Triticum aestivum L.) Pada Periode Tanam dan Taraf Pemupukan Nitrogen Yang Berbeda. [Skripsi]. Bogor. Fakultas MIPA Institut Pertanan Bogor.
Swasti, E. Dan Jamsari. 2005. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Pasang
Swasti, Etti. 2007. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang.
Read More ->>

Kamis, 06 Maret 2014

KULTUR JARINGAN TANAMAN COKLAT ( BIOTEKNOLOGI )


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyediaan bibit dalam pengembangan suatu tanaman atau dalam suatu proses produksi merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Proses produksi skala besar seperti tanaman hortikultura akan memerlukan bibit dalam jumlah besar, bibit dari varietas unggul, bebas hama dan penyakit dan penyediaan yang kontinyu. Bibit dari suatu varietas unggul yang dihasilkan oleh pemulia tanaman jumlahnya sangat terbatas, sedangkan bibit dibutuhkan sangat banyak. Beberapa tanaman perekbunan banyak yang sulit diperbanyak dengan konvensional baik secara vegetatif maupun generatif, selain itu bila diperbanyak dengan cara cangkok, stek, atau penempelan memerlukan bahan tanaman yang sangat besar untuk medapatkan bibit dalam jumlah besar.
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia, apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih dari 6,2 juta ha terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tangah Maluku dan Sulawesi Tenggara. Disamping itu kebun yang telah di bangun masih berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata saat ini kurang dari 50% potensinya. Di sisi lain situasi perkakaoan dunia beberapa tahun terakhir sering mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik untuk segera dimanfaatkan. Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang stratigis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan pasar domestik masih belum tergarap.
Dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif stabil dan cukup tinggi maka perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus berlanjut dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun dapat memberikan produktivitas yang tinggi. Melalui berbagai upaya perbaikan dan perluasan maka areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 1,1 juta ha dan diharapkan mampu menghasilkan produksi 730 ribu ton/tahun biji kakao. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi produsen utama kakao dunia bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton/tahun biji kakao.
Untuk mencapai sasaran produksi tersebut diperlukan investasi sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber dari masyarakat karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara swadaya oleh petani. Dana pemerintah diharapkan dapat berperan dalam memberikan pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasaran jalan dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional, dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir.
Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan agribisnis kakao 5 sampai 20 tahun ke depan antara lain: Penghapusan PPN dan berbagai pungutan, aktif mengatasi hambatan ekspor dan melakukan lobi untuk menghapuskan potangan harga, mendukung upaya pengendalian hama PBK dan perbaikan mutu produksi serta menyediakan fasilitas pendukungnya secara memadai
Oleh kerena itu pada produksi bibit kako ini dilakukan secara kultur jaringan. Salah satu keunggulan dari teknologi kultur jaringan ini dapat menghasilkan bibit tanaman yang seragam dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat. Hasilnya juga memiliki karakteristik tertentu yang menguntungkan, seperti tahan hama penggerek buah kakao (PBK), produksi tinggi dengan kandungan lemak tinggi. Dengan demikian kata Maulidin, dapat dikembangkan dalam skala besar untuk menghasilkan produksi dalam bentuk biji kakao.
Praktik produksi bibit tanaman kakao ini diharapkan mahasiswa dapat terampil, lebih mengetahui dan memahami dengan jelas, baik dalam ilmu pengetahuan dan praktikum produksi bibit tanaman kakao yang dilaksanakan. 
Bahan-bahan yang digunakan  yaitu : unsur hara makro, unsur hara mikro, unsur hara besi, vitamin, zat pengatur tumbuh (ZPT), sukrosa, gula pasir, agar-agar, tisu, alkohol 96 %, alkohol 70 %, klorok, spirtus, mata pisau, eksplan bunga lili, planlet lili, bakterisida, detergen, fungisida, air kran, air destilata, air destilata steril, plastik wraffing, plastik penutup media, karet gelang, kertas label, spidol, korek api, tabung gas, NaOH, HCL, alumunium foil, kertas, pot, media pakis, pasir steril, kantong polibag, dan kain.

Pembuatan media
Pembuatan media tanam dalam perbanyakan tanaman dengan metode teknik kultur in vitro merupakan kegiatan yang paling penting dan memerlukan ketelitian serta pemahaman yang jelas dalam proses pembuatannya.
Pembuatan media kultur dimulai dari sterilisasi botol kultur. Botol kultur yang akan digunakan dalam pembuatan media sebelumnya dicuci dengan menggunakan detergen dan dibilas di air mengalir sampai bersih. Botol setelah dicuci kemudian di keringkan, lalu disterilisasi dalam oven. Tahap selanjutnya adalah pembuatan larutan stok hara makro, mikro, vitamin dan zat pengatur tumbuh.
Media yang digunakan yaitu komposisi media MS (Murashige dan Skoog). Komposisi media MS terdiri dari unsur hara makro, mikro, Fe (Besi), vitamin dan ZPT.  Media yang digunakan untuk inisiasi staminodia kakao  yaitu MS +  2 ppm 2,4-D  + 0,1 mg adenine sulfat + 0,5 mg arang aktif, dan media yang digunakan untuk inisiasi embriozigotik kakao yaitu MS + 3 ppm IBA + 2 ppm KINETIN + air kelapa 10 %.
Pembuatan media kultur selanjutnya yaitu penyiapan alat dan bahan, serta pelabelan nama media pada botol. Air akuades dimasukkan ± 300 ml pada erlenmayer, kemudian larutan stok makro, mikro, vitamin, dan ZPT dimasukkan juga ke dalam erlenmayer sesuai dengan pengambilan pada masing-masing larutan stok. Sukrosa dan agar ditimbang masing-masing sebanyak 30 gram/ liter dan 7 gram/liter agar-agar. Sukrosa kemudian dimasukkan ke dalam erlenmayer lalu diaduk sampai homogen pada hotplate menggunakan magnetik stirrer. Larutan media kemudian ditera dengan air akuadesi ¾ larutan media (1 liter). Setelah itu ukur pH larutan sekitar 5,8, apabila lebih dari 5,8 maka harus ditambahan HCl dan apabila kurang dari 5,8 harus ditambahkan NaOH sedikit-sedikit sampai mencapai pH 5,8. masukkan agar-agar lalu media ditera dengan air destilata lagi sampai 1000 ml kemudian dituangkan pada wajan. Larutan media dimasak pada kompor gas sambil diaduk sampai agar-agar homogen dan mendidih ditandai dengan larutan berwarna jernih. Media dituangkan pada botol kultur ± 30 ml/botol. Botol tersebut kemudian ditutup dengan alumunium foil. Media kemudian disterilisasi dalam autoklaf elektrik pada tekanan 1,5 MPa, suhu 121oC selama 20 menit dan disimpan di ruang media pada suhu ruangan yaitu 26 – 28oC.

Inisiasi staminodia kakao
Prosedur inisiasi daun kakao adalah sebagai berikut :
1.      Kuncup bunga dipanen pada pagi hari
2.      Sterilisasi kuncup bunga dengan larutan klorok 5 % selama 10 menit kemudian dibilas dengan akuades steril 3 x @ 5 menit
3.      Eksplan ditiriskan dan disimpan diatas petridis steril
4.      Potong 1/3 bagian pangkal bunga secara cermat dan steril
5.      Inokulasi bagian staminodia dan petal secara terpisah
6.        Inkubasi di ruang gelap pada suhu 25 – 30oC selama 14 hari

Iniasiasi embriozigotik kakao
Prosedur inisiasi anther kakao adalah sebagai berikut :
1.      Buah diambil berumur 90 – 120 hari
2.      Buah dicuci bersih di air mengalir kemudian dikupas kulitnya
3.      Eksplan disterilisasi di dalam laminar (laminar sudah disterilisasi) dengan cara celup bakar dalam alkoho 96 % selama 3 x.
4.      Embrionya diambil dari buah secara hati-hati  kemdian diinokulasi pada media embriozogotik kakao
5.      Simpan di ruang gelap pada suhu 25 – 26oC








Read More ->>

Daftar Blog Saya

Blogroll

Statistik

latar blkng

Ganti Gambar Latarnya Sesuka Kamu


Pasang Seperti Ini

Followers

Pages

Blogger news

Banner

Flag Counter

Laman

Halaman

Oleh nanda nugraha. Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Popular Posts